Jakarta, CNN Indonesia --
Guru Besar norma internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengkritik pernyataan berbareng RI-China usai kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing akhir pekan lalu.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pun langsung buka bunyi mengenai polemik batas-batas Laut China Selatan dengan teritori Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin 9 dalam pernyataan berbareng RI-China tertera kedua pihak bakal bersama-sama menciptakan lebih banyak titik terang dalam kerja sama maritim.
Kedua pihak mencapai kesepahaman berbareng nan krusial mengenai pengembangan berbareng di bidang-bidang nan mempunyai klaim nan tumpang tindih (overlapping claims).
Hikmahanto menyoroti poin tersebut berangkaian klaim tumpang tindih China di Laut China Selatan (LCS).
"Menjadi pertanyaan mendasar apakah nan dimaksud dengan overlapping claims ini mengenai klaim sepuluh garis putus oleh China nan bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" kata Hikmahanto dalam rilis resmi, Senin (11/11).
Dia lampau berujar, "Bila memang benar, berfaedah kebijakan Indonesia mengenai klaim sepihak China atas Sepuluh [dulu sembilan] Garis Putus telah berubah secara drastis."
Hingga pemerintahan Joko Widodo berakhir, Indonesia tegas tak mengakui klaim sepihak Sepuluh Garis Putus dari China (Ten dishes lines).
RI menganggap klaim itu tak sesuai konvensi PBB soal norma laut alias UNCLOS.
Pengadilan Arbitrase pada 2016 juga sudah menyatakan klaim sepihak China tak diakui dan tak sesuai UNCLOS.
"Namun dengan adanya joint statement 9 November lampau berfaedah Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus," kata Hikmahanto.
Joint development, lanjut dia, hanya terjadi jika masing-masing negara mengakui area maritim nan saling tumpang tindih.
Menurut Hikmahanto pengakuan klaim sepihak China juga tak sesuai perundingan perbatasan area maritim nan selama ini dilakukan.
Indonesia, kata dia, juga tak pernah melakukan perundingan maritim dengan China.
"Karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus nan diklaim secara sepihak oleh China," ujar Hikmahanto.
Pemerintah selama ini juga konsisten enggan melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan buahpikiran joint development dengan China.
Bila memang betul area nan bakal dikembangkan berbareng berada di wilayah Natuna Utara, Hikmahanto menyarankan Prabowo semestinya berkonsultasi dengan DPR.
Terlebih, jika joint development ini betul-betul direalisasikan maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia nan dilanggar.
Hikmahanto juga menggarisbawahi jika joint development betul-betul disepakati maka bakal berakibat ke situasi geopolitik di kawasan.
"Negara-negara nan berkonflik dengan China sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam bakal mempertanyakan posisi Indonesia," ujar dia.
Situasi itu juga bisa memicu ketegangan antara negara-negara ASEAN.
Belum lagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang, Hikmahanto memandang mungkin negara tersebut bakal sangat kecewa dengan posisi Indonesia.
Dia juga mengatakan jika joint development dengan China direalisasikan di area Natuna Utara maka nan "untung besar" adalah Negeri Tirai Bambu.
"Bahkan China bisa menyatakan bahwa Indonesia telah jatuh ditangannya, suatu perihal nan tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR," ungkap Hikmahanto.
Saat itu, Prabowo menyatakan Indonesia menerapkan sistem politik bebas aktif dan tak memihak negara adikuasa mana pun.
Kemlu RI beri penjelasan mengenai Laut China Selatan, baca di laman berikutnya....