Jakarta, CNN Indonesia --
Jepang mencatat rekor baru kasus infeksi bakteri 'pemakan daging'.
Kementerian Kesehatan Negeri Sakura melaporkan per 2 Juni, ada 977 kasus streptococcal toxic shock syndrome (STSS) nan tersebar di seluruh negeri. Selama rentang Januari hingga Maret, sebanyak 77 orang meninggal bumi akibat jangkitan ini.
Dilansir dari CNN, ini merupakan rekor baru kasus STSS di Jepang setelah pada 2023 mencapai 941 kasus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
National Institute of Infectious Diseases Jepang melaporkan pada 2023, sebanyak 97 kematian terjadi akibat STSS. Jumlah tersebut merupakan nan tertinggi kedua selama enam tahun terakhir.
Apa itu STSS?
STSS merupakan kasus jangkitan kuman nan jarang terjadi namun bisa berakibat fatal ketika dialami manusia. STSS bisa berkembang ketika kuman menyebar ke jaringan dalam dan aliran darah.
Pasien nan terinfeksi mulanya bakal menderita demam, nyeri otot, dan muntah-muntah. Gejala ini bisa semakin parah hingga menakut-nakuti nyawa lantaran menurunkan tekanan darah, menyebabkan pembengkakan, dan syok tubuh sehingga beberapa organ tak bisa bekerja.
"Bahkan meskipun diobati, STSS bisa tetap mematikan. Dari 10 orang nan menderita STSS, tiga orang bakal meninggal lantaran infeksi," demikian menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).
Sebagian besar kasus STSS disebabkan oleh kuman group A streptococcus (GAS). Bakteri ini nan menyebabkan demam dan sakit tenggorokan pada anak-anak.
GAS bisa menjadi invasif ketika menghasilkan racun nan memungkinkannya mendapatkan akses ke aliran darah sehingga mengakibatkan penyakit serius seperti syok toksik.
Kendati begitu, kondisi tersebut cukup jarang terjadi.
GAS juga bisa menyebabkan kondisi fasciitis nekrotikans namalain jangkitan jaringan lunak nan bisa menghancurkan jaringan di kulit dan otot. Pasien dengan kondisi ini berpotensi kehilangan personil tubuh.
Kendati demikian, sebagian besar pasien nan menderita STSS mempunyai riwayat kesehatan lain seperti kanker alias glukosuria sehingga menurunkan keahlian tubuh mereka untuk melawan infeksi.
Meroket Pasca-pandemi
Kasus jangkitan kuman ini sempat tak masif ketika pandemi Covid-19. Sebab saat itu orang-orang mengenakan masker dan menjaga jarak.
Namun, setelah pembatasan dilonggarkan, kasus ini pun kembali merebak.
Pada Desember 2022, lima negara Eropa melapor kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa ada peningkatan invasive group A streptococcus (iGAS) nan kebanyakan menjangkiti anak-anak di bawah 10 tahun.
CDC saat itu juga melaporkan peningkatan serupa ketika mereka mengaku sedang menginvestigasi kasus tersebut.
Pemerintah Jepang sendiri sejak Maret telah memperingatkan bahwa ada lonjakan kasus STSS.
Menurut Institut Nasional Penyakit Menular Jepang, jumlah kasus STSS nan disebabkan iGAS sudah meningkat sejak Juli 2023. Kasus ini disebut banyak terjadi di kalangan orang berumur di bawah 50 tahun.
Seiring dengan itu, CDC menyebut orang tua nan mempunyai luka terbuka paling berisiko terjangkit STSS. Begitu pula mereka nan baru menjalani operasi.
"Namun, para mahir tidak tahu gimana kuman itu masuk ke dalam tubuh," demikian pernyataan CDC.
Sejauh ini, penyebab peningkatan kasus STSS di Jepang tahun ini belum diketahui.
Profesor dari Tokyo Women's Medical University, Ken Kikuchi, menduga lonjakan kasus di Jepang diakibatkan oleh melemahnya sistem kekebalan tubuh setelah pandemi Covid-19.
"Kita bisa meningkatkan kekebalan tubuh jika kita terus-menerus terpapar bakteri. Namun sistem itu tidak terjadi selama pandemi Covid-19," ujarnya.
"Oleh karena itu, banyak orang sekarang rentan terhadap jangkitan dan mungkin itu jadi salah satu argumen kasus ini meningkat tajam," imbuh dia.
(blq/vws)
[Gambas:Video CNN]