Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah belakangan ini. Hal itu membikin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Bank Indonesia (BI) untuk menyiapkan skenario jika dolar AS tembus Rp 17.000 hingga Rp 20.000.
"Gimana jika sampai Rp 17.000, sampai Rp 18.000, alias Rp 20.000, itu skenario ada nan kudu dilakukan, Bu Destry dan kawan-kawan sangat berpengalaman, apa langkah nan bakal dilakukan dalam situasi pemerintahan nan bakal berhujung dan pada transisi pemerintahan," kata Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Eriko Sotarduga saat rapat dengan jejeran Bank Indonesia, dikutip Minggu (30/6/2024).
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup di level Rp16.370 per dolar AS pada perdagangan hari ini, Jumat (28/6/2024). Melansir info Refinitiv, mata duit Garuda ini melanjutkan penguatan 0,15% dari kemarin sebesar 0,03%.
Terpantau, sudah dua hari beruntun rupiah menguat dan semakin meninggalkan level psikologis Rp16.400/US$. Meski begitu, penguatan akhir-akhir ini tetap belum membikin rupiah beranjak dari level terpuruk sejak pandemi Covid-19. Tercatat, rupiah sebelumnya sempat menyentuh level 16.475 per US$ pada perdagangan hari Jumat pekan lampau (21/6/2024). nan kemudian ditutup pada level Rp16.445 per US$.
Sementara itu, ahli ekonomi senior nan juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengingatkan agar pemerintah, Bank Indonesia dan pihak berkuasa lainnya untuk ekstra hati-hati dalam mengawal rupiah.
Menurut Telisa, jika tembus Rp 17.000/US$ kerugian ekonominya bakal lebih besar dihadapi masyarakat Indonesia, meski tak sampai menyebabkan krisis moneter sebagaimana saat 1997-1998.
"Dulu kan overshoot-nya dari Rp 5.000 ke Rp 17.000, jika sekarang kan dari Rp 14.000 lah ke Rp 17.000, jadi belum krisis. Krisis itu mungkin jika Rp 20.000 lah udah itu baru," tegasnya.
Terlepas dari level tersebut, Telisa mewanti-wanti pemerintah dan otoritas moneter untuk tidak membiarkan kurs rupiah tembus di level Rp 16.500/US$.
Dia mengatakan, jika level psikologis itu tertembus dari saat ini di kisaran atas Rp 16.400/US$ bakal terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar finansial dari nan sudah bermunculan saat ini, sehingga susah dijinakkan dan berpotensi merosot sampai Rp 17.000/US$.
"Jadi, jika ditanya sampai berapa ya Probability ke Rp 17.000/US$ sih ada ya. Nanti lenyap 17.000 mungkin ada equilibrium baru," kata Telisa.
Dalam perkembangan lain, saat dolar tetap di level kisaran Rp 15.900-Rp 16.200, industri finansial mencatat kenaikan rasio angsuran dan pembiayaan bermasalah (NPL/NPF).
Rasio pembiayaan bermasalah alias non-performing financing (NPF) industri multifinance merangkak naik pada tahun ini. Hal ini diikuti pula dengan melambatnya pertumbuhan pembiayaan.
Berdasarkan info Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2024 rasio NPF gross sebesar 2,82%, naik 35 pedoman poin (bps) secara tahunan. Apabila dibandingkan dengan posisi Desember 2023, rasio NPF naik 38 bps.
Begitu pula dengan NPF net per April 2024 nan naik 20 bps menjadi 0,89% dan naik 25 bps dibandingkan dengan Desember 2023.
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro OJK Ahmad Nasrullah mengatakan bahwa biaya hidup masyarakat Indonesia nan semakin mahal menjadi satu argumen NPF membengkak. "Saat ini keahlian debitur berkurang lantaran peningkatan biaya hidup. Jadi untuk bayar angsuran mereka tidak kuat," ungkap Ahmad.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menilai kenaikan itu terjadi lantaran daya beli masyarakat tertekan nilai kebutuhan pokok nan melonjak sejak akhir 2023. Selain itu, dia mengatakan perusahaan pembiayaan juga tengah berhadapan dengan kondisi susah mencari debitur berbobot baik.
Suwandi menjelaskan saat ini angsuran bermasalah telah menjadi rumor bagi seluruh industri keuangan. Memang benar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa rasio NPL perbankan juga naik.
Adapun NPL gross perbankan sebesar 2,33% per April 2024 naik dari sebulan sebelumnya 2,25%, dan NPL nett naik jadi sebesar 0,81% dari sebelumnya 0,77%.
Secara spesifik, satu segmen nan mengalami kenaikan NPL adalah angsuran konsumsi. Meski tetap di bawah 2%, NPL angsuran konsumsi per Maret 2024 naik 30 pedoman poin (bps) menjadi 1,8%.
Nilai NPL angsuran konsumsi per Maret 2024 naik 27,7% secara tahunan (yoy), sedangkan angsuran konsumsi tumbuh di bawahnya alias 10,5% yoy.
Sejumlah bank besar RI pun mengakui adanya perburukan pada kualitas angsuran konsumtif mereka. Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Handayani mengaku NPL konsumer di bank pelat merah itu merangkak naik. Namun, dia meyakini potensi segmen konsumer di BRI tetap besar.
"NPL pinjaman konsumer BRI tetap terkendali dengan baik meskipun sedikit meningkat. Potensi pinjaman konsumer tetap besar meskipun melambat," kata Handayani.
Saksikan video di bawah ini:
Video: Mengintip Kurs Dolar AS - Rupiah Terkini di Money Changer
Next Article
Rupiah Anjlok di Hadapan Dolar AS Selama Sepekan, Simak!
(pgr/pgr)